Kisah Perjalananku Menuju Gereja Katolik
Dari Katolisitas: Tulisan ini merupakan bagian kedua dari kesaksian iman Rachel. Kami berterima kasih atas kesediaan Rachel untuk membagikan kisah pergumulan batinnya sampai akhirnya memilih untuk menjadi seorang Katolik. Semoga kisah kesaksian iman ini dapat juga menguatkan iman kita semua…..
“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Pengkhotbah 3 : 11)
Tak pernah terbayang sebelumnya, kalau pada akhirnya aku akan memilih untuk menjadi seorang Katolik. Ini merupakan keputusan terbesar dalam hidupku setelah pernikahan. Sekali mengatakan “Ya”, berarti untuk selamanya!!
Setelah melalui perjalanan yang panjang dengan liku-likunya, yang terkadang penuh duri dan terasa amat menyakitkan, serta acap kali menemui persimpangan jalan hingga membuatku cukup mengalami depresi, kini aku, dengan langkah pasti dan kepala tegap terangkat, dapat mengarahkan hatiku untuk melangkah memasuki Gereja Katolik.
Ya, Gereja Katolik!
Gereja Katolik yang dahulunya sangat bertentangan dengan hatiku, dengan pikiranku, dengan seluruh keberadaanku sebagai seorang Protestan.
Dulu, aku sangat membenci doktrin-doktrin Katolik, khususnya ajaran mengenai ‘Maria’.
Bagiku, Maria adalah penghalang utama orang Katolik untuk mendekat lebih lagi kepada Yesus. Apapun yang orang Katolik jelaskan, termasuk pacarku sendiri, tentang doktrin Maria, otakku tidak bisa menerimanya, hatiku selalu memberontak dengan keras. Bagiku doktrin Maria hanyalah buatan manusia, karangan Paus semata!
Salah satu penyebab kebencianku terhadap Maria adalah juga karena kegemaranku membaca buku-buku rohani yang berhubungan dengan alam roh. Aku pernah membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang mantan penyihir dari Afrika, bernama “Mukendi”. Di situ dikatakan bahwa ketika Allah mengusir Lucifer dari Firdaus, ia tidak hanya terlempar seorang diri saja, tetapi bersama pengikut-pengikutnya, dan para pengikutnya itu tersebar ke berbagai tempat. Ada yang terjatuh ke dalam laut, dan menjadi penguasa lautan. Kebetulan malaikat penguasa laut ini bernama “Maria Marguella”, ia sering mengaku sebagai Maria ibu Yesus. Dan menurut Mukendi, orang yang berdoa kepada Maria, secara tidak langsung mereka sedang berdoa kepada malaikat penguasa lautan ini.
Ada juga malaikat yang jatuh ke langit, dan menjadi penguasa langit, dibawah kakinya terdapat tulisan: Rosa, yang berarti “naga”. Dan orang yang berdoa Rosario secara tidak langsung juga mereka sesungguhnya sedang berdoa kepada malaikat penguasa langit tersebut.
Masih banyak hal lainnya yang membuatku semakin membenci Maria, dan mengasihani orang-orang Katolik.
Aku menelan seluruh isi buku itu bulat-bulat, tanpa ada sedikit pun perlawanan dari dalam diriku. Sekarang buku itu sudah tidak ada lagi, bukan karena hilang, atau kubuang, tetapi, (sekarang aku baru menyesal), karena buku tersebut sudah kuberikan kepada seseorang yang tidak kukenal, yang sudah hampir menemui ajalnya karena sakit berat.
Aku pernah bertanya kepada pacarku yang seorang Katolik:
“Kalau memang tujuan dari setiap penampakan Maria itu adalah membawa orang untuk lebih dekat lagi kepada Yesus, kenapa tidak Yesus sendiri saja yang langsung menampakan diriNya kepada orang-orang, kenapa harus Maria? Apa mungkin Maria yang adalah manusia biasa, sama seperti kita, bisa dengan mudahnya naik turun Surga hanya untuk menampakkan dirinya?”
Sementara aku sedang mengajukan pertanyaan itu, di dalam pikiranku sendiri tiba-tiba muncul gambaran tentang penampakan Musa dan Elia, ketika Yesus dan ketiga muridNya naik ke gunung yang tinggi.
Matius 17:3 Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia.
Kemudian aku mendengar pacarku itu menjawab:
“Mungkin saja, kalau itu memang sesuai dengan kehendak Tuhan. Contohnya Musa dan Elia yang menampakan diri kepada Yesus!”
Aku terdiam dan jadi heran sendiri. Bukan hanya karena jawaban dari pacarku itu, tapi terutama tentang gambaran yang tadi tiba-tiba saja muncul di dalam pikiranku, seolah-olah aku sudah diberitahu jawabannya terlebih dahulu sebelum pacarku menjawab.
Kisah cintaku semasa pacaran banyak dihiasi dengan pertengkaran seputar doktrin Katolik, terutama doktrin Maria ini.
Aku juga pernah berkata kepada pacarku kemudian, yang sekarang sudah menjadi suami tercintaku:
“Kenapa sih dalam doa Rosario, Salam Maria didoakan sampai 10 kali, sementara doa Bapa kami cuma satu kali saja?”
Tanpa menunggu jawaban dari pacarku itu, aku kembali berkata dengan ketus:
“Dasar Maria egois! serakah! Maunya dia yang paling banyak didoakan!”
Saat itu pacarku masih sabar dalam menghadapi perlawananku, yang kalau kupikir sekarang, sudah amat keterlaluan.
Tapi, ada suatu waktu dia sudah tidak dapat lagi menahan kemarahannya, karena mendengar penghinaanku terhadap Bunda Maria. Aku sudah lupa bagaimana kejadiannya saat itu, tapi yang aku tidak dapat lupakan adalah tanggapannya yang sangat keras:
“Yayang boleh sepuasnya menghina Koko, tapi jangan sekali-kali Yayang menghina Mama Koko, apalagi Mama yang sangat Koko hormati!”
Setelah berkata seperti itu, dia pun pergi dengan penuh kemarahan, meninggalkan aku sendiri yang pada saat itu masih juga dapat tersenyum, karena pikirku:
“Siapa juga yang menghina mamanya, orang yang aku hina Maria, bukan mamanya!”
Tapi sekarang aku sudah mengerti bahwa yang dimaksud pacarku waktu itu adalah Maria sebagai mamanya, sebagai ibu rohaninya.
Saat tergantung di kayu salib, Yesus menyerahkan ibuNya kepada murid terkasihNya, Yohanes, dengan berkata kepada ibuNya: “Ibu, inilah anakmu!”, dan kepada murid terkasihNya: ” Inilah ibumu!”, dan mulai saat itu Yohanes menerima Maria di dalam rumahnya. (Yoh 19 : 26-27)
Karena kita juga adalah murid terkasih Yesus, maka ibuNya pun menjadi ibu kita. Bahkan dalam Ibrani 2 : 11-12, Yesus menyebut kita adalah saudara-saudaraNya.
Ibrani 2 : 11 Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara,
Ibrani 2 : 12 Kata-Nya: “Aku akan memberitakan nama-Mu kepada saudara-saudara-Ku, dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaat,”
Meski bibirku tersenyum mendengar kata-kata pacarku yang menyebut Maria sebagai mamanya, tapi sesungguhnya hatiku porak poranda. Aku langsung berlari masuk ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya.
Aku bertanya kepada Tuhan:
“Mengapa Tuhan…, mengapa harus aku yang mengalami hal seperti ini? Engkau tahu kalau aku ini paling anti Katolik… Tak pernah sekalipun dalam doaku, aku memohon kepadaMu untuk mengirimkan padaku seorang pacar Katolik…! Lalu mengapa Kau malah mengirimkan padaku seseorang yang bahkan sangat kuat dalam iman Katoliknya? Siapakah itu Maria? Tolong Tuhan, tunjukkan padaku siapakah itu Maria?”
Pada suatu hari, aku melihat sebuah buku dari daftar buku di perpustakaan kantorku. Buku itu sangat menarik minatku. Aku sudah sangat sering mendengar nama dan karya sungguh luar biasa yang dikerjakan tokoh utama dalam buku itu, yaitu : Bunda Theresa, tapi baru kali ini aku berminat untuk membaca seluruh kisah kehidupannya.
Aku sungguh terharu dan kagum menyaksikan kasih yang dinyatakan oleh Bunda Theresa kepada orang-orang kusta di Kalkuta, India. Sekalipun dia tidak pernah mengatakan tentang Yesus kepada orang-orang malang yang dilayaninya, tetapi pada akhirnya banyak dari mereka yang percaya kepada Yesus, karena melihat perbuatan nyata penuh kasih yang dilakukan Bunda Theresa.
Ini barulah kesaksian yang hidup. Kesaksian yang sesungguhnya!
Aku merasa heran, mengapa orang Katolik bisa melakukan hal luar biasa seperti ini? Mengapa mereka memiliki kasih yang sedemikian nyatanya, hingga seolah-olah Yesus sendiri yang berkerja dalam mereka, dan nampak dalam setiap laku mereka?
Aku juga melihat bahwa Bunda Theresa memiliki hubungan yang akrab dengan Yesus. Bagaimana ini bisa terjadi…? Bukankah seharusnya Maria menjadi penghalang hubungan mereka dengan Yesus? Padahal Bunda Theresa juga sering berdoa Rosario, berarti dia juga memiliki hubungan yang dekat dengan Maria? Lalu, apa sebenarnya yang salah dalam buku ini?
Setelah membaca habis buku itu, aku duduk termenung. Aku mulai membayangkan perjalanan Bunda Theresa yang pastinya penuh perjuangan, melayani orang-orang berpenyakitan dan menjadi sampah masyarakat. Bukan hanya itu saja, perjuangannya lebih terasa berat lagi, karena dia melayani bukan di negaranya sendiri, tetapi di negara orang.
Oleh karena kasihnya kepada Yesus, yang dinyatakan kepada mereka yang malang, Bunda Theresa mampu melewati semuanya itu dengan penuh kesabaran dan ketekunan.
Aku jadi teringat dengan perkataan Yakobus dalam suratnya:
Yakobus 2, 2:14 Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?
2:15 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari,
2:16 dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?
2:17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.
2:18 Tetapi mungkin ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.”
2:19 Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.
2:20 Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?
2:21 Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?
2:22 Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.
2:23 Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu Abraham disebut: “Sahabat Allah.”
2:24 Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.
Jadi, apalah gunanya kotbah yang berkobar-kobar, jika tidak disertai dengan perbuatan nyata penuh kasih?
Setelah hari itu, aku makin penasaran dengan kisah hidup orang-orang Katolik. Aku mulai melirik website yang berbau Katolik di internet, dan aku menemukan kisah para Santa/Santo, orang-orang yang dianggap kudus oleh Gereja Katolik, karena teladan hidupnya yang luar biasa, atau karyanya yang telah membawa suatu kesaksian dalam pertumbuhan iman Katolik.
Banyak daftar nama-nama Santa/Santo di sana. Tetapi aku menemukan seorang Santa yang membuat mataku semakin terbuka lebar dan membuat keherananku semakin menjadi-jadi. Tak pernah sekalipun kusangka sebelumnya akan menemukan yang seperti ini di dalam sejarah Gereja Katolik. Bagiku orang-orang Katolik hanyalah boneka-boneka hidup yang datang dan pulang Gereja bukan karena kerinduan untuk mencari Tuhan, tapi hanya sebatas kewajiban. Mereka pulang tak ada bedanya dengan ketika mereka datang. Aku berpikir mereka hanya patuh pada peraturan yang dibuat Paus saja. Jarang sekali aku menemukan teman-temanku Katolik yang mengerti Alkitab. Bahkan, yang lebih parahnya lagi, ada juga yang bingung ketika mencari letak dari kitab tertentu dalam Alkitab!
Tapi di sini, dalam buku harian Santa ini, aku menemukan sesuatu yang sangat berbeda. Sungguh kebalikan 180 derajat dari apa yang kupikirkan mengenai orang Katolik. Seseorang yang begitu akrab dengan Yesus, sampai seolah-olah Yesus benar-benar nampak di dalam kehidupan sehari-hari Santa ini. Ia melihat dan berbicara kepada Yesus seperti ia sedang melihat dan berbicara dengan sahabatnya sendiri. Begitu nyata dan alami.
Santa ini bernama St. Faustina Kowalska, dan dia mendapat gelar sebagai: RASUL KERAHIMAN ILAHI.
Helena Kowalska dilahirkan di Glogowiec, Polandia pada tanggal 25 Agustus 1905 sebagai anak ketiga dari sepuluh putera-puteri pasangan suami isteri Katolik yang saleh Stanislaw Kowalski dan Marianna Babel. Ayahnya seorang petani merangkap tukang kayu. Keluarga Kowalski, sama seperti penduduk Glogowiec lainnya, hidup miskin dan menderita dalam penjajahan Polandia oleh Rusia.
Helena hanya sempat bersekolah hingga kelas 3 SD saja. Ia seorang anak yang cerdas dan rajin, juga rendah hati dan lemah lembut hingga disukai orang banyak.
Sementara menggembalakan sapi, Helena biasa membaca buku; buku kegemarannya adalah riwayat hidup para santa dan santo. Seringkali ia mengumpulkan teman-teman sebayanya dan menjadi `katekis’ bagi mereka dengan menceritakan kisah santa dan santo yang dikenalnya. Helena kecil juga suka berdoa. Kerapkali ia bangun tengah malam dan berdoa seorang diri hingga lama sekali. Apabila ibunya menegur, ia akan menjawab, “Malaikat pelindung yang membangunkanku untuk berdoa.”
Ketika usianya 16 tahun, Helena mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga agar dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Tetapi, setahun kemudian ia pulang ke rumah untuk minta ijin masuk biara. Mendengar keinginan Helena, ayahnya menanggapi dengan tegas, “Papa tidak punya uang untuk membelikan pakaian dan barang-barang lain yang kau perlukan di biara. Selain itu, Papa masih menanggung hutang!”
Puterinya mendesak, “Papa, aku tidak perlu uang. Tuhan Yesus sendiri yang akan mengusahakan aku masuk biara.” Namun, orangtuanya tetap tidak memberikan persetujuan mereka.
Patuh pada kehendak orangtua, Helena bekerja kembali sebagai pembantu. Ia hidup penuh penyangkalan diri dan matiraga, hingga suatu hari pada bulan Juli 1924 terjadi suatu peristiwa yang menggoncang jiwanya.
“Suatu ketika aku berada di sebuah pesta dansa dengan salah seorang saudariku. Sementara semua orang berpesta-pora, jiwaku tersiksa begitu hebat. Ketika aku mulai berdansa, sekonyong-konyong aku melihat Yesus di sampingku; Yesus menderita sengsara, nyaris telanjang, sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka; Ia berkata kepadaku: “Berapa lama lagi Aku akan tahan denganmu dan berapa lama lagi engkau akan mengabaikan-Ku” Saat itu hingar-bingar musik berhenti, orang-orang di sekelilingku lenyap dari penglihatan; hanya ada Yesus dan aku di sana. Aku mengambil tempat duduk di samping saudariku terkasih, berpura-pura sakit kepala guna menutupi apa yang terjadi dalam jiwaku. Beberapa saat kemudian aku menyelinap pergi, meninggalkan saudari dan semua teman-temanku, melangkahkan kaki menuju Katedral St. Stanislaus Kostka.
Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan; hanya sedikit orang saja ada dalam katedral. Tanpa mempedulikan sekeliling, aku rebah (= prostratio) di hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon dengan sangat kepada Tuhan agar berbaik hati membuatku mengerti apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
Lalu aku mendengar kata-kata ini: “Segeralah pergi ke Warsawa, engkau akan masuk suatu biara di sana.”
Aku bangkit berdiri, pulang ke rumah, membereskan hal-hal yang perlu diselesaikan. Sebisaku, aku menceritakan kepada saudariku apa yang telah terjadi dalam jiwaku. Aku memintanya untuk menyampaikan selamat tinggal kepada orangtua kami, dan lalu, dengan baju yang melekat di tubuh, tanpa barang-barang lainnya, aku tiba di Warsawa,” demikian tulis St Faustina di kemudian hari.
Setelah ditolak di banyak biara, akhirnya Helena tiba di biara Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih. Kongregasi ini membaktikan diri pada pelayanan kepada para perempuan yang terlantar secara moral. Sejak awal didirikannya oleh Teresa Rondeau, kongregasi mengaitkan misinya dengan misteri Kerahiman Ilahi dan misteri Santa Perawan Maria Berbelas Kasih.
“Ketika Moeder Superior, yaitu Moeder Jenderal Michael yang sekarang, keluar untuk menemuiku, setelah berbincang sejenak, ia menyuruhku untuk menemui Tuan rumah dan menanyakan apakah Ia mau menerimaku. Seketika aku mengerti bahwa aku diminta menanyakan hal ini kepada Tuhan Yesus. Dengan kegirangan aku menuju kapel dan bertanya kepada Yesus: “Tuan rumah ini, apakah Engkau mau menerimaku? Salah seorang suster menyuruhku untuk menanyakannya kepada-Mu.”
Segera aku mendengar suara ini: “Aku menerimamu; engkau ada dalam Hati-Ku.”
Ketika aku kembali dari kapel, Moeder Superior langsung bertanya, “Bagaimana, apakah sang Tuan menerimamu?” Aku menjawab, “Ya.” “Jika Tuan telah menerimamu, maka aku juga akan menerimamu.” Begitulah bagaimana aku diterima dalam biara.”
Namun demikian, Helena masih harus tetap bekerja lebih dari setahun lamanya guna mengumpulkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada tahap awal tinggal di biara. Akhirnya pada tanggal 1 Agustus 1925, menjelang ulangtahunnya yang ke-20, Helena diterima dalam Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih. “Aku merasa sangat bahagia, seakan-akan aku telah melangkahkan kaki ke dalam kehidupan Firdaus,” kenang St Faustina.
Setelah tinggal di biara, Helena terkejut melihat kehidupan para biarawati yang sibuk sekali hingga kurang berdoa. Karenanya, tiga minggu kemudian Helena bermaksud meninggalkan biara dan pindah ke suatu biara kontemplatif yang menyediakan lebih banyak waktu untuk berdoa. Helena yang bingung dan bimbang rebah dalam doa di kamarnya. “Beberapa saat kemudian suatu terang memenuhi bilikku, dan di atas tirai aku melihat wajah Yesus yang amat menderita. Luka-luka menganga memenuhi WajahNya dan butir-butir besar airmata jatuh menetes ke atas seprei tempat tidurku. Tak paham arti semua ini, aku bertanya kepada Yesus, “Yesus, siapakah gerangan yang telah menyengsarakan-Mu begitu rupa?” Yesus berkata kepadaku:
“Engkaulah yang akan mengakibatkan sengsara ini pada-Ku jika engkau meninggalkan biara. Ke tempat inilah engkau Ku-panggil dan bukan ke tempat lain; Aku telah menyediakan banyak rahmat bagimu.” Aku mohon pengampunan pada Yesus dan segera mengubah keputusanku.”
Pada tanggal 30 April 1926, Helena menerima jubah biara dan nama baru, yaitu St Maria Faustina; di belakang namanya, seijin kongregasi ia menambahkan “dari Sakramen Mahakudus”. Dalam upacara penerimaan jubah, dua kali St Faustina tiba-tiba lemas; pertama, ketika menerima jubah; kedua, ketika jubah dikenakan padanya. Dalam Buku Catatan Harian, St Faustina menulis bahwa ia panik sekaligus tidak berdaya karena pada saat itu ia melihat penderitaan yang harus ditanggungnya sebagai seorang biarawati. Dalam biara, tugas yang dipercayakan kepadanya sungguh sederhana, yaitu di dapur, di kebun atau di pintu sebagai penerima tamu. Semuanya dijalankan St Faustina dengan penuh kerendahan hati.
Pada tanggal 22 Februari 1931, St Faustina mulai menerima pesan Kerahiman Ilahi dari Kristus yang harus disebarluaskannya ke seluruh dunia. Kristus memintanya untuk menjadi rasul dan sekretaris Kerahiman Ilahi, menjadi teladan belas kasih kepada sesama, menjadi alat-Nya untuk menegaskan kembali rencana belas kasih Allah bagi dunia. Seluruh hidupnya, sesuai teladan Kristus, akan menjadi suatu kurban hidup yang diperuntukkan bagi orang lain. Menanggapi permintaan Tuhan Yesus, St Faustina dengan rela mempersembahkan penderitaan pribadinya dalam persatuan dengan-Nya sebagai silih atas dosa-dosa manusia; dalam hidup sehari-hari ia akan menjadi pelaku belas kasih, pembawa sukacita dan damai bagi sesama; dan dengan menulis mengenai Kerahiman Ilahi, ia mendorong yang lain untuk mengandalkan Yesus dan dengan demikian mempersiapkan dunia bagi kedatangan-Nya kembali.
Meskipun sadar akan ketidaklayakannya, serta ngeri akan pemikiran harus berusaha menuliskan sesuatu, toh akhirnya, pada tahun 1934, ia mulai menulis buku catatan harian dalam ketaatan pada pembimbing rohaninya, dan juga pada Tuhan Yesus sendiri. Selama empat tahun ia mencatat wahyu-wahyu ilahi, pengalaman-pengalaman mistik, juga pikiran-pikiran dari lubuk hatinya sendiri, pemahaman, serta doa-doanya.
Hasilnya adalah suatu buku catatan harian setebal 600 halaman, yang dalam bahasa sederhana mengulang serta menjelaskan kisah kasih Injil Allah bagi umatnya, dan di atas segalanya, menekankan pentingnya kepercayaan pada tindak kasih-Nya dalam segala segi kehidupan kita. Buku itu menunjukkan suatu contoh luar biasa bagaimana menanggapi belas kasih Allah dan mewujudnyatakannya kepada sesama.
Di kemudian hari, ketika tulisan-tulisan St Faustina diperiksa, para ilmuwan dan juga para teolog terheran-heran bahwa seorang biarawati sederhana dengan pendidikan formal yang amat minim dapat menulis begitu jelas serta terperinci; mereka memaklumkan bahwa tulisan St Faustina sepenuhnya benar secara teologis, dan bahwa tulisannya itu setara dengan karya-karya tulis para mistikus besar.
Devosinya yang istimewa kepada Santa Perawan Maria Tak Bercela, kepada Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat memberi St Faustina kekuatan untuk menanggung segala penderitaannya sebagai suatu persembahan kepada Tuhan atas nama Gereja dan mereka yang memiliki kepentingan khusus, teristimewa para pendosa berat dan mereka yang di ambang maut.
St Faustina Kowalska menulis dan menderita diam-diam, hanya pembimbing rohani dan beberapa superior saja yang mengetahui bahwa suatu yang istimewa tengah terjadi dalam hidupnya. Setelah wafat St Faustina, bahkan teman-temannya yang terdekat terperanjat mengetahui betapa besar penderitaan dan betapa dalam pengalaman-pengalaman mistik yang dianugerahkan kepada saudari mereka ini, yang senantiasa penuh sukacita dan bersahaja.
Pesan Kerahiman Ilahi yang diterima St Faustina sekarang telah tersebar luas ke segenap penjuru dunia; dan buku catatan hariannya, “Kerahiman Ilahi Dalam Jiwaku” menjadi buku pegangan bagi Devosi Kerahiman Ilahi. St Faustina sendiri tak akan terkejut mengenai hal ini, sebab telah dikatakan kepadanya bahwa pesan Kerahiman Ilahi akan tersebar luas melalui tulisan-tulisan tangannya demi keselamatan jiwa-jiwa.
Dalam suatu pernyataan nubuat yang ditulisnya, St Faustina memaklumkan: “Aku merasa yakin bahwa misiku tidak akan berakhir sesudah kematianku, melainkan akan dimulai. Wahai jiwa-jiwa yang bimbang, aku akan menyingkapkan bagi kalian selubung Surga guna meyakinkan kalian akan kebajikan Allah” (Buku Catatan Harian, 281)
St Maria Faustina Kowalska dari Sakramen Mahakudus, rasul Kerahiman Ilahi, wafat pada tanggal 5 Oktober 1938 di Krakow dalam usia 33 tahun karena penyakit TBC yang dideritanya. Jenasahnya mula-mula dimakamkan di pekuburan biara, lalu dipindahkan ke sebuah kapel yang dibangun khusus di biara. Pada tahun 1967, dengan dekrit Kardinal Karol Wojtyla, Uskup Agung Krakow, kapel tersebut dijadikan Sanctuarium Reliqui Abdi Allah St Faustina Kowalska.
Pada Pesta Kerahiman Ilahi tanggal 18 April 1993, St Faustina dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II dan pada Pesta Kerahiman Ilahi tanggal 30 April 2000 dikanonisasi oleh Paus yang sama. Pesta St Faustina dirayakan setiap tanggal 5 Oktober.
(Sumber : YESAYA)
Sejak saat itu, aku sudah mengetahui nama apa yang kelak akan kupakai sebagai nama baptisku: “Faustina”.
Aku merasakan hatiku semakin terbuka terhadap Gereja Katolik, beserta berbagai rahasianya yang kian menguak di depan mataku. Sementara hatiku kian menggelegak dalam kerinduan pencarian akan kebenaran yang tersembunyi dalam Gereja Katolik, seperti sedang mencari sebuah harta karun yang terkubur dalam gua-gua mengerikan, demikian hatiku menjelajah kian jauh menelusup dalam gudang rahasia Gereja Katolik. Namun, di sisi yang lain dalam otakku masih juga tak dapat memahami tentang doktrin Maria, api penyucian, dan persekutuan dengan para kudus!
Mengapa orang Katolik harus berdoa kepada Maria, dan menjadikannya perantara kepada Yesus? Mengapa tidak langsung saja berbicara kepada Yesus, kenapa harus melalui jalan yang memutar? Apa fungsi doa Rosario yang diulang-ulang? Mengapa juga mereka sering berdoa pada Santa atau Santo, orang-orang yang sudah mati? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang membuat otakku menjadi linglung!
Akhirnya, untuk menumpahkan kepenatanku akibat memikirkan tentang hal-hal itu, aku mencoba menuangkannya ke dalam bentuk tulisan, dan tulisanku itu kuberi judul “Linglung”.
LINGLUNG
(Senin, 17 Des 2007)
Tuhan, apakah yang Engkau inginkan supaya aku perbuat?
Apakah yang sedang Engkau rancangkan bagi hidupku?
Mengapa Engkau menarik aku ke dalam suasana hati yang tidak karuan seperti ini?
Seakan kakiku berpijak pada dua buah gunung, yang dipisahkan oleh sebuah jurang yang terjal,
Yang siap kapan saja untuk menerjunkan diriku ke dalamnya.
Hatiku sungguh diliputi kebingungan
Diselimuti ketakutan dan keragu-raguan,
Ke manakah aku harus melangkah?
Ke gunung yang manakah aku harus meletakan kedua kakiku?
Atau mungkinkah aku harus bertahan pada kedua gunung itu?
Hingga kedua kakiku menjadi lemas;
dan perlahan-lahan jurang keputusasaan akan dengan sukarela menyambut tubuhku amblas ke dalam pelukannya?
Tuhan,
Siapakah yang perduli akan kesengsaraanku?
Siapakah yang perduli akan sakit yang kurasakan
Akibat pertempuran hebat yang berkecamuk di dalam jiwaku ini?
Haruskah aku berjuang seorang diri?
Haruskah aku menangis di balik punggung-Mu?
Atau haruskah aku terus berdiri diam sambil menantikan orang datang menarik-narik tanganku,
Dan meyakinkan diriku untuk mengikuti jejak yang mereka pikir benar?
Siapakah yang benar?
Apakah kebenaran itu?
O Tuhan,
Mengapa hati dan pikiranku menjadi kalut seperti ini?
Apakah aku sudah menjadi gila karena bingung?
Kapankah gembalaku datang?
Kapankah gembalaku yang baik itu menolongku dan membawa aku pulang?
Pulang ke mana?
Ke gunung yang mana?
Kini kedua gunung tampak begitu menarik di mataku.
Gunung yang satu dipenuhi dengan aneka bunga berwarna-warni
menebarkan keharuman yang sudah sangat kukenal,
yang merasuk sampai ke sumsum dan tulang-tulangku,
menghadirkan kehangatan dan kenyamanan.
Gunung yang telah membesarkanku,
memeliharaku, dan mengasihi aku hingga saat ini.
Gunung yang begitu kukasihi,
gunung yang begitu kukagumi dengan segala keindahannya.
Tapi di sisi yang lain,
Aku melihat gunung yang serupa namun tak sama,
Gunung yang tak begitu kukenal,
Yang juga menampilkan keindahan,
Bunga-bunga tumbuh seirama
Menebarkan keharuman di tengah-tengah keheningan yang menyejukan
Penuh kelembutan dan kesederhanaan
Namun terasa begitu asing bagiku,
Seakan menyimpan sejuta rahasia yang sulit kumengerti.
Rahasia yang lambat laun mulai menguak di depan mataku,
Menyodorkan segenggam mutiara,
Mutiara yang sesaat lalu tampak begitu buruk di mataku
Begitu mengerikan,
Kusam tanpa berkilau.
Tapi..,
Mengapa kini…
Mengapa kini hatiku seakan merasakan sesuatu yang lain?
Mengapa mataku kini seolah-olah mulai melihat keindahan di balik mutiara yang buruk dan
mengerikan itu?
Menyingkapkan kebenaran yang indah namun begitu terasa menyakitkan hatiku?
Adakah yang salah dengan hatiku?
Ataukah gunung itu yang salah?
Gunung yang mana?
Yang kiri atau yang kanan?
Di manakah Engkau berada,
hai gembala yang baik?
Ke manakah Engkau memanggil aku pulang?
Pulang ke mana?
Ke gunung yang mana?
Ah, Tuhan!
Tahukah Kau, kalau aku linglung dibuatnya?
Linglung karena ketakutanku,
Takut kalau-kalau aku salah melangkah,
Takut kalau-kalau aku menyakiti hati-Mu,
Mengecewakan gembalaku yang sudah sangat kucintai, kukasihi, dan yang kuharapkan
Kedatangan-Nya untuk menjemput aku masuk ke dalam kemuliaan-Nya yang abadi.
Datanglah, hai gembala yang baik!
Datanglah sekarang juga untuk menolong aku!
Karena aku benar-benar linglung dibuatnya.
Jangan diam terlalu lama!
Jangan Kau biarkan aku linglung kelamaan!
Hanya Engkau saja yang akan kuturuti.
Aku takkan mau turut yang lain.
Hanya Kau!
Hanya Kau saja yang sanggup membawa aku pulang ke rumah-Mu.
Ke rumah yang telah Kau siapkan bagiku.
Bagi kita berdua!
Aku terus mencari dan mencari, berusaha menemukan kebenaran yang telah, oh belum, hanya baru separuh terlihat. Keharuman yang baru sedikit, sangat sedikit tercium olehku. Keharuman serta keindahan yang secara perlahan-lahan mengerogoti kengerianku terhadap sosok Gereja Katolik.
Aku mulai membaca lebih dalam lagi, dari sejarah Gereja Katolik, sejarah pohon natal, lagu Malam Kudus, hingga sejarah Alkitab, semuanya itu dimulai oleh Katolik. Ya, orang-orang Katolik! Gereja Katolik yang berani dengan jelas menyatakan bahwa dirinya adalah Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus sendiri melalui Rasul Petrus, Paus pertama dalam sejarah Gereja Katolik! Dan telah melewati berabad-abad, baik dalam masa tenang maupun melewati masa-masa gelap, tetap berdiri kokoh seperti batu karang di tengah terjangan badai dunia!
Matius 16:18 Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.
Pacarku juga mulai mengirimiku banyak artikel tentang Bunda Maria. Tidak seperti dulu, kini hatiku makin melunak dalam memandang Maria sebagai seseorang yang sangat dihormati oleh orang Katolik.
Hingga suatu hari, pacarku memberikan kepadaku sebuah buku yang merupakan serentetan peluru senapan yang berhasil menjebol dinding pertahananku. Buku yang mengisahkan kepindahan seorang pendeta Presbytarian, seorang anti Katolik yang menganggap orang-orang Katolik adalah orang-orang malang yang perlu diselamatkan, dan menyebut Gereja Katolik sebagai pelacur dari Babilonia. Menjadi seorang Katolik, seorang pengikut Paus yang luar biasa dalam pengetahuannya tentang ajaran Katolik.
Dalam bukunya yang berjudul : “Rome Sweet Home (Roma Rumahku)”, Scott dan isterinya, Kimberly, menceritakan dengan detil, bagaimana mereka bisa sampai mengakui Gereja Katolik sebagai rumah sejatinya. Bagaimana, dengan rinci dan penuh ketelitian, serta mengacu pada ayat-ayat dalam Alkitab, Scott menjabarkan bahwa ajaran Katolik sangatlah Alkitabiah. Bagaimana Kimberly, baik dalam segi perasaan dan pandangannya terhadap ajaran Katolik, khususnya Maria, sama persis dengan apa yang telah dan sedang kurasakan serta pikirkan sekarang. Dan bagaimana cara dia mengatasinya, sungguh membuatku semakin mengerti dan menjadi semakin berkobar-kobar dalam kerinduanku meneguk habis setiap kebenaran yang disodorkan Alkitab mengenai ajaran Gereja Katolik!
PANTAI KETEGUHAN
(Jumat 4 Januari 2008)
Desak rindu tak terbendung
Rasa hati kian tak menentu
Kebencian bergantikan kekaguman
ketakutan bergantikan pengharapan.
Meruntuhkan dinding keangkuhan,
mematahkan deret rantai keragu-raguan
Mendamparkan jiwa di pantai keteguhan,
melangkah dengan iman kepada terang kebenaran yang sejati
Akan kuteguk air sungai kehidupan
Hingga kutemukan pulau kedamaian jiwa yang sesungguhnya.
PERAHU KEMENANGAN
(Sabtu 5 Januari 2008)
Kutapaki lembaran baru dalam perjalanan iman
mengarungi samudra kehidupan dalam perahu kemenangan
Cinta Tuhanku telah menghanguskan aku
melumatku hingga ke dasar sanubari
menerbangkanku ke awan persemayaman cinta
yang bersinar kemilau bagaikan emas murni
membalutku dalam selimut kedamaian yang sebelumnya tak pernah sekalipun melintas di benakku.
Kini aku bagaikan seekor burung kecil
yang terbang mengelilingi angkasa raya kemuliaan.
Bersarang dalam dekapan terang kasih Tuhan
sambil menyenandungkan nyanyian sukacita
berkumpul kembali dalam kehangatan kasih persaudaraan
Bersama segenap laskar surgawi,
Memuji dan mengagungkan sang Raja Kemuliaan:
‘Yesus Kristus’
Setiap Minggu, aku dan pacarku pergi ke Gereja Katolik. Dulu aku sangat menganggap remeh setiap tata cara liturginya. Bagiku dulu, nyanyian dan segala hal yang mencakup tata cara ibadah, termasuk kotbah Romo, sangat membosankan!
Aku pernah mengejek pacarku yang setiap masuk dan keluar pintu Gereja selalu membungkukan badan, menghadap Altar Tuhan, kebetulan beberapa kali aku tepat berada di depannya, jadi aku secara spontan berkata: “Duh…, nggak usah repot-repot nyembah aku!”
Dan dalam beberapa kesempatan, aku sengaja melakukan apa yang dilarang pacarku untuk dilakukan di dalam Gereja, terutama saat Misa berlangsung. Seperti misalnya, aku sengaja minum dari botol minum yang kubawa ketika Romo sedang berkhotbah! Aku melakukan itu, semata-mata hanya ingin menunjukan kepada pacarku kalau aku tidak terikat pada peraturan, yang kupikir, hanya merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh manusia.
Tapi sekarang, aku sudah mengerti, kalau sesungguhnya ketaatan itu sangat penting. Satu hal yang tidak dapat iblis lakukan adalah ‘taat’!
Dan aku tidak mau disamakan dengan iblis! Yesus saja taat kepada BapaNya sampai mati…, sampai mati di kayu salib!
I Petrus 1:22 Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.
Ketika hatiku mulai mengerti, aku dapat melihat setiap detil dalam tata cara liturgi sangatlah bermakna. Seperti membungkuk, bersujud, dan melagukan kata-kata, semuanya itu sungguh-sungguh memiliki arti yang mendalam. Mereka percaya bahwa Yesus sungguh hadir dalam setiap perayaan Ekaristi kudus. Bahwa Hosti yang berada di Altar adalah Yesus sendiri, bukan sekedar simbol dari tubuh dan darah Kristus, tapi sungguh-sungguh Yesus sendiri!
Oleh sebab itulah mengapa mereka sangat menghormati Altar kudus, karena di situlah Sang Raja kemuliaan bersemayam! Dan puncak dalam setiap perayaan Ekaristi adalah “Komuni”, di mana kita sungguh-sungguh dipersatukan kembali dengan Kristus. Sungguh misteri yang luar biasa, yang baru kutemukan dan baru kusadari keindahannya!
Demikianlah, sedikit demi sedikit, satu demi satu rahasia itu mulai tersingkap di hadapanku. Begitu manis dan menggairahkan, seolah menggugah kerinduanku untuk melahap lebih dan lebih lagi.
Aku terus melangkah dan melangkah, menapaki lembaran baru dalam perjalanan imanku, menyambut setiap kebenaran baru dengan penuh kekaguman. Namun, setiap kali berhadapan dengan doktrin Maria, aku kembali terbentur. Seakan-akan kakiku tertanam amat dalam, hingga sulit melangkah pada yang satu ini!
Tiap malam aku selalu bertanya kepada Tuhan:
“Siapakah itu Maria yang dihormati sedimikian rupa oleh orang Katolik?… Tolong Tuhan, tunjukanlah padaku, siapakah itu Maria, dan apa yang sepatutnya harus aku perbuat, agar aku tidak menyakiti hatiMu?”
Demikianlah aku terus bergumul dalam doaku untuk tahap pencarianku pada yang satu ini.
Suatu hari aku menemukan ayat dalam perjanjian lama yang menggambarkan tentang kebundaan Maria lewat Batsyeba, ibu dari raja Salomo.
1 Raja-raja 2:19 Batsyeba masuk menghadap raja Salomo untuk membicarakan hal itu untuk Adonia, lalu bangkitlah raja mendapatkannya serta tunduk menyembah kepadanya; kemudian duduklah ia di atas takhtanya dan ia menyuruh meletakkan kursi untuk bunda raja, lalu perempuan itu duduk di sebelah kanannya.
2:20 Berkatalah perempuan itu: “Suatu permintaan kecil saja yang kusampaikan kepadamu, janganlah tolak permintaanku.” Jawab raja kepadanya: “Mintalah, ya Ibu, sebab aku tidak akan menolak permintaanmu.”
Di sini bunda ratu bertindak sebagai perantara permohonan Adonia kepada raja, dan sebagai seorang anak kepada ibunya, raja sangat menghormatinya, sehingga raja berkata : “Mintalah, ya Ibu, sebab aku tidak akan menolak permintaanmu.” Tapi apa yang terjadi pada ayat-ayat sesudahnya, bahwa keputusan terakhir tetaplah berada di tangan raja.
Aku mulai mengerti, bahwa beginilah orang-orang Katolik memandang Bunda Maria sebagai perantara doa mereka kepada Yesus, sang Raja.
Seperti yang dikatakan Scott dalam bukunya yang berjudul: “Hail, Holy Queen (Salam Ratu Surgawi): Bahwa kita adalah satu keluarga besar dengan keluarga Kerajaan Allah.
***
“Bagaimanapun, Allah sendiri adalah suatu keluarga yang abadi, sempurna. Paus Yohanes Paulus II menyatakan hal ini dengan baik, ”Dalam misteri terdalam-Nya, Allah itu bukanlah suatu kesendirian, tetapi suatu keluarga karena dalam diri-Nya la memiliki kebapaan, keputraan, dan hakikat dari keluarga, yakni kasih.”
***
Karena Allah adalah keluarga, yang terungkap dalam Tritunggal Mahakudus, maka Allah pun ingin menarik kita, orang-orang percaya, untuk masuk menjadi anggota keluargaNya. Sebagai keluarga yang utuh, kita, baik yang masih berziarah di bumi, maupun yang di Sorga, memiliki ikatan persaudaraan yang erat. Kita dapat memohon kepada mereka yang di Sorga untuk mendoakan kita, seperti layaknya kita meminta orang-orang terdekat kita: ibu, ayah, saudara-saudara, atau teman-teman kita untuk mendoakan kita. Demikian jugalah dengan Bunda Maria, Ibu kita dalam Yesus, dan saudara-saudara kita yang telah mendahului kita menikmati janji Tuhan, yakni berkumpul kembali dalam keluarga Kerajaan Allah, pastilah mereka dengan suka hati akan terus mendoakan kita, dan menjadi saksi dari perlombaan yang sedang kita jalani sekarang.
Ibrani 12:1 Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
Wahyu 8:4 Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah.
Dalam bukunya, Scott menjabarkan secara terperinci tentang kebundaan Maria beserta dengan gelar-gelarnya. Seperti biasa, dengan begitu cermat, ia menelitinya dari sisi Alkitabnya juga. Dimana betapa eratnya hubungan antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.
***
“Seluruh Alkitab dapat dilihat sebagai kisah persiapan Allah untuk, dan penggenapan dari, karya-Nya yang terbesar, yakni: pewahyuan diri definitif-Nya dalam Yesus Kristus. St. Agustinus berkata bahwa Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama terungkap dalam Perjanjian Baru. Karena seluruh sejarah adalah persiapan dunia untuk menyambut saat ketika Sabda menjadi daging, saat ketika Allah menjadi anak manusia dalam rahim seorang perawan muda dari Nazaret.”
***
Scott juga mengajak pembaca untuk mempelajari tentang gambaran.
***
“Orang-orang Kristen pertama mengikuti cara Tuhan dalam membaca Alkitab. Dalam Surat kepada Orang Ibrani, kemah Perjanjian Lama dan ritualnya dilukiskan sebagai ”gambaran dan bayangan dari apa yang ada di Surga” (Ibr 8:5), dan sebagai ”bayangan dari keselamatan yang akan datang” (Ibr 10:1). Demikian juga, St. Petrus menulis bahwa Nuh dan keluarganya ”diselamatkan lewat air,” dan bahwa ”ini melambangkan pembaptisan yang menyelamatkan Anda sekarang” (1 Ptr 3:20-21).
Perkataan Petrus yang diterjemahkan dengan ”melambangkan” sebenarnya dari akar kata asli Yunani yang dialihbahasakan menjadi tipe atau typify yang berarti ”menggambarkan.” Dan St. Paulus, dalam suratnya, melukiskan Adam sebagai ”gambaran” dari Yesus Kristus (Roma 5:14).
Jadi, apa itu gambaran? Gambaran adalah orang, tempat, benda, atau kejadian dalam Perjanjian Lama yang pada masa silam sudah melukiskan sesuatu yang lebih besar dalam Perjanjian Baru. Dari kata ”tipe” kita mendapatkan kata ”tipologi”, yakni suatu telaah mengenai gambaran-gambaran tentang Kristus dalam Perjanjian Lama (lihat Katekismus Gereja Katolik, no. 128-130).
Di samping itu, perlu aku tekankan bahwa gambaran bukanlah simbol fiktif. Gambaran adalah detail historis yang sungguh ada, sungguh terjadi. Misalnya, ketika menafsirkan kisah anak-anak Abraham sebagai ”suatu gambaran” (Gal 4:24), St. Paulus tidak bermaksud bahwa cerita itu tidak pernah sungguh terjadi; sebaliknya, ia menegaskan peristiwa itu sebagai sejarah, bahkan sejarah yang mendapat tempat dalam rencana Allah, sejarah yang maknanya menjadi jelas, baru sesudah penggenapannya pada zaman akhir.
Tipologi mengungkap tidak hanya pribadi Kristus; ia juga menyatakan kepada kita tentang Surga, Gereja, rasul, Ekaristi, tempat-tempat kelahiran dan kematian Yesus, dan pribadi ibu Yesus. Dari orang-orang Kristen pertama kita mempelajari bahwa kenisah Yerusalem merupakan bayangan dari kediaman surgawi para kudus dalam kemuliaan (2 Kor 5:1-2; Why 21:9-22); bahwa Israel menggambarkan Gereja (Gal 6:16); bahwa kedua belas bapa bangsa dalam Perjanjian Lama merupakan gambaran dari kedua belas rasul dalam Perjanjian Baru (Luk 22:30); dan bahwa tabut perjanjian adalah gambaran dari Santa Perawan Maria (Why 11:19; 12:1-6.13-17).
Di samping gambaran-gambaran yang secara eksplisit disebut dalam Perjanjian Baru, ada lebih banyak lagi gambaran yang tersirat secara implisit tetapi sungguh nyata. Misalnya, peran St. Yusuf dalam kehidupan duniawi Yesus jelas mengikuti peran Bapa Yusuf dalam kehidupan duniawi Israel. Keduanya menyandang nama yang sama; keduanya dilukiskan sebagai orang ”benar” atau ”tulus”, keduanya menerima pewahyuan lewat mimpi; keduanya dibuang ke Mesir; dan keduanya tampil dalam panggung sejarah untuk menyiapkan jalan bagi peristiwa yang lebih besar – dalam hal Bapa bangsa Yusuf: keluaran yang dipimpin oleh Musa, Sang Pembebas; dalam hal St. Yusuf: penebusan yang diwujudkan oleh Yesus, Sang Penebus.
Gambaran-gambaran tentang Maria pun melimpah dalam Perjanjian Lama. Kita temukan Maria digambarkan dalam diri Hawa, ibu dari semua yang hidup; dalam diri Sara, istri Abraham, yang mengandung anaknya secara ajaib; dalam sosok bunda ratu dalam kerajaan Israel, yang menjadi penghubung antara rakyat dan sang raja; dalam banyak tempat, dan dalam banyak cara lain (misalnya, Hana dan Ester). Gambaran yang paling eksplisit dalam Perjanjian Baru, tabut perjanjian, akan kubahas dengan lebih rinci dalam bab yang bersangkutan. Di sini aku hanya akan menegaskan bahwa, sebagaimana tabut dibuat untuk mengemban Perjanjian Lama, demikian Perawan Maria diciptakan untuk mengemban Perjanjian Baru.”
***
Awalnya, aku membaca buku ini secara cepat, hanya sekilas saja, sehingga membuatku makin pusing kepala. Benar-benar misteri yang teramat dalam dan sulit dipahami. Perlu kecermatan serta ketelitian, dan, yang lebih penting lagi, tuntunan Roh Kudus dalam membacanya.
Tapi, setelah membaca habis buku ini, walaupun masih kurang mengerti, hatiku mulai terasa rindu untuk berdamai dengan Bunda Maria, yang selama ini sangat “kubenci”. Aku memberanikan diri untuk mengambil Rosario dan mendoakannya. Sebelumnya aku berkata kepada Tuhan :
“Tuhan, hari ini aku mau berdoa Rosario…, maafkan aku, Tuhan, apabila dengan berdoa Rosario seperti ini aku telah melukai hatiMu!”
Ternyata keputusanku untuk berdamai dengan Bunda Maria ini, merupakan titik balik keterbukaanku terhadap seluruh ajaran Katolik. Mulai saat itu, hatiku terus dipenuhi dengan perasaan rindu yang kian mendalam untuk bertemu Tuhan dalam Ekaristi kudus. Karenanya, setiap pulang kantor (yang waktu itu kebetulan sedang puasa umat Muslim, sehingga jam kantorku dimajukan hanya sampai jam 4 sore), pacarku mengajak aku untuk mengikuti Misa harian di Katedral yang dimulai pada jam 6 sore.
Sepanjang Misa, hatiku sungguh diliputi rasa syukur dan cinta yang mendalam kepada Yesus, yang kini, kutahu, bahwa Dia, Yesus, ada bersama-sama kami dalam Ekaristi kudus, dan kurasakan sedang memperhatikan aku, dombaNya yang kini telah kembali pulang.
Oh Yesus Kristus Tuhanku, Kakak Sulungku, Allah dan Penyelamat jiwaku, Penasihat Ajaib, Bapa yang kekal, Raja Damai, aku sungguh mencintaiMu dengan segenap hatiku, dengan seluruh keberadaanku. Aku sungguh menikmati kebersamaan kita dalam Ekaristi kudus. KehadiranMu yang mempersatukan diriku dengan DiriMu, hatiku dengan HatiMu, telah meruntuhkan dinding-dinding keangkuhan dalam hatiku dan telah menenggelamkan diriku seutuhnya ke dalam kasihMu yang menyelamatkan!
Waktu terus bergulir dengan cepatnya, hatiku pun sudah merasa semakin rileks jika sedang berdoa Rosario, tidak seperti dulu yang selalu tegang jika mendengar, apalagi menyebut kata ‘Maria’ dalam doa. Aku mulai senang membaca-baca segala sesuatu tentang Katolik.
Selain Rosario, aku juga senang mendaraskan doa Koronka, mempelajari Novena kepada Hati Kudus Yesus, Novena kepada Roh Kudus, dan Novena kepada Sakramen Mahakudus, sehingga koleksi Rosarioku pun menjadi banyak.
Demikianlah, keterbukaan hatiku terus melebar seirama dengan pengetahuanku yang semakin bertambah mengenai ajaran Katolik. Tetapi, sementara hatiku sudah dapat menerima dan rindu untuk benar-benar terjun ke dalamnya, benar-benar menjadi keluarga Katolik yang sah dengan mengikuti Katekumen, otakku masih juga menahan hatiku dengan berkata: “Belum waktunya!”.
Sampai tiba saatnya aku dan pacarku dipersatukan dalam Pemberkatan nikah di Gereja Katolik, dan anak kami lahir serta dibaptis dengan nama baptis ‘Gabriella’, aku belum juga mengikuti Katekumen.
Mengenai pembaptisan bayi, awalnya aku pun kurang setuju, karena yang kutahu dari pengajaran Gerejaku dulu, bahwa pembaptisan itu hanya diberikan kepada orang-orang yang sudah dapat mengerti dan menerima Kristus secara pribadi. Sementara bayi atau kanak-kanak dibawah 12 tahun, masih bergantung pada iman kedua orang tuanya. Jadi kami hanya melakukan penyerahan anak, seperti yang dilakukan Maria ketika menyerahkan bayi Yesus kepada Imam Simeon untuk didoakan.
Meski demikian, aku tetap memberikan anakku untuk dibaptis secara Katolik. Tetapi ketika Romo mengucurkan air, dan kemudian ia pun mengolesi minyak di dahi anakku, aku merasa hatiku pun dialiri sukacita yang berlimpah-limpah. Sejak saat itu aku percaya bahwa anakku sungguh-sungguh sudah menjadi milik Tuhan seutuhnya. Air dan minyak yang diolesi merupakan penanda bahwa anakku sudah tercatat sebagai anggota kerajaan Allah. Semacam KTP, tetapi ini tandanya bukan dalam bentuk kartu, melainkan cap yang menempel di dahi anakku dan tidak ada masa expired.
Aku sering membayangkan anakku yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. Namun, ada perbedaan yang mencolok di antara mereka: di dahi anakku terpancar sinar yang tidak dimiliki anak-anak lain!
Aku pernah berkata kepada Tuhan: “Tuhan, jikalau memang ini adalah kehendakMu agar aku masuk menjadi keluarga Katolik, kumohon, tunjukanlah hal ini juga kepada orang tuaku, biarlah orang tuaku pun menyutujui keputusanku untuk mengikuti katekumen!”
Ketika aku dan papi sedang berada di kamar hotel di Semarang, sementara mami sedang berada di kamar mandi, aku memberanikan diri untuk meminta ijin dibaptis secara Katolik. “Pap, aku mau dibaptis Katolik ya?”
Aku benar-benar tegang saat mengatakan hal itu, terlebih saat menanti tanggapannya. Aku sudah berpikir berulang-ulang sebelum meluncurkan tembakan, agar tidak salah sasaran: ngomong dulu sama papi, masalah diterima atau ditolaknya keinginanku itu, yang penting aku sudah bicara dengan yang empunya keputusan akhir. Jadi, aku sudah berencana, kalau papi bilang “Ya!”, maka aku baru akan bicara dengan mami.
Tapi, ternyata jawaban papi saat itu membuat nafasku yang cukup bergemuruh akibat keteganganku, dapat kembali berjalan dengan normal dan terasa sangat ringan.
“Ya…, terserah kamu saja… kamu kan sekarang sudah dewasa dan bisa memutuskan sendiri mana yang menurut kamu baik. Memang sebaiknya suami isteri itu berjalan sama-sama…”
Kira-kira begitulah jawaban papi.
Dan selang beberapa bulan kemudian, ketika kami sedang makan malam, aku kembali memberanikan diri untuk bicara kepada Mami.
“Mam, aku mau dibaptis Katolik ya?”
Mami pun menjawab: “hmm!”
Jawaban yang sangat singkat, jelas dan padat! :)
Kini, dengan hati ringan dan keyakinan penuh, aku pun dapat berkata kepada suamiku : “Aku siap mengikuti katekumen!”
Bila kurenungkan kembali pencarianku akan kebenaran ajaran
Gereja Katolik, sungguh merupakan perjalanan yang sangat panjang dan penuh misteri. Ajaran Katolik sungguh kaya raya dan luar biasa. Andai saja orang-orang Protestan mau sedikit saja meluangkan waktu dan membuka hati mereka untuk menengok dan mempelajari kedalaman ajaran Katolik yang telah diwariskan secara turun-temurun, sejak zaman Yesus dan para Rasul, bahkan jauh sebelumnya lagi, maka mereka pun pasti akan tercengang menemukan harta karun yang begitu berharga, yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Harta karun yang tersembunyi, dan tidak mungkin terlihat jika mereka tidak mau tahu dan tidak mau berusaha menggalinya!
Tapi, sekarang aku baru mengerti, bahwa tidak mudah bagi kami, orang Protestan untuk membuka hati terhadap ajaran Katolik, demikian juga sebaliknya. Karena semua itu hanyalah karena ‘Rahmat’. Kalau bukan karena Rahmat, mungkin sampai sekarang pun aku akan tetap bertahan pada pengertianku sendiri bahwa “Ajaran Gerejakulah yang paling benar!”.
Nah, sampai di sini dulu saja ya ceritaku untuk saat ini. Sekarang aku sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengikuti kelas katekumen. Nanti, kalau aku sudah masuk dalam kelas katekumen, aku akan bercerita lagi padamu.
Ok???
Bye…
Sumber : https://katolisitas.org/kisah-perjalananku-menuju-gereja-katolik/